Cari

UKS Masih Jadi Pepesan Kosong, 50% Sekolah Belum Miliki UKS Aktif



Schoolmedia News Jakarta == Di ruang pertemuan hangat di Karawang, Jawa Barat, deretan pejabat Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) berbicara penuh semangat tentang penguatan Usaha Kesehatan Sekolah (UKS).

Kata sehat, cerdas, dan berdaya saing mengalun dalam setiap pidato. Namun di balik jargon yang manis itu, kondisi di ribuan sekolah Indonesia justru menampilkan wajah sebaliknya: ruang UKS berdebu, wastafel kering, dan guru kesehatan yang hanya nama di papan struktur organisasi.

Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Fajar Riza Ul Haq, menegaskan bahwa penguatan UKS harus menjadi gerakan lintas sektor. Ia menekankan pentingnya anak sehat sebagai fondasi keberhasilan belajar. Namun, kenyataannya, banyak sekolah bahkan tidak punya ruang UKS yang layak.

Data Direktorat PAUD Dikdasmen menunjukkan hanya sekitar 48% sekolah di Indonesia yang memiliki UKS aktif.

Dari angka itu, lebih dari separuhnya tidak memiliki tenaga pelaksana, peralatan medis sederhana, atau fasilitas air bersih yang memadai.

UKS di banyak sekolah hanya formalitas. Ruangannya kecil, sering jadi tempat menyimpan sapu, bukan tempat anak dirawat, kata Dr. Retno Mulyani, pakar kesehatan masyarakat dari Universitas Indonesia, saat dimintai tanggapan.

Menurutnya, sejak pandemi COVID-19 berakhir, perhatian terhadap kesehatan siswa justru menurun. Padahal momentum pandemi seharusnya membuat UKS hidup kembali sebagai pusat edukasi kesehatan anak, tambahnya.

Direktur Jenderal PAUD Dikdasmen, Gogot Suharwoto, menyebut UKS kini menjadi bagian dari dua program unggulan Presiden: Makan Bergizi dan Cek Kesehatan Gratis.
Namun program ambisius itu berisiko kandas di tengah jalan jika masalah dasar tak terselesaikan.

Berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan 2024, sekitar 35% sekolah di Indonesia belum memiliki akses air bersih permanen, sementara 40% tidak memiliki toilet terpisah antara siswa laki-laki dan perempuan.

Bagaimana bicara makan bergizi kalau anak mencuci tangan saja sulit? ujar Nining Sumarni, kepala sekolah di Karawang yang sekolahnya baru memiliki ruang UKS hasil swadaya guru.

Ia menuturkan, ketika ada program makan bergizi datang, sekolah hanya menerima bantuan makanan tanpa fasilitas penyimpanan atau alat sanitasi yang memadai. Kami hanya disuruh jalankan, tanpa pendampingan teknis, keluhnya.

UKS sejatinya bukan program baru. Ia diluncurkan sejak 1970-an melalui kerja sama lintas kementerian Pendidikan, Kesehatan, Agama, dan Dalam Negeri  dengan semangat menjadikan sekolah sebagai tempat pembinaan perilaku hidup bersih dan sehat.

Namun, seiring perubahan struktur birokrasi, UKS kehilangan pijakan kelembagaannya. Tidak ada anggaran tetap, tidak ada tenaga kesehatan sekolah yang diatur secara nasional, dan koordinasi antarinstansi melemah.

Sejak otonomi daerah, UKS seperti anak tiri. Siapa pun bisa klaim terlibat, tapi tidak ada yang benar-benar bertanggung jawab, kata Dr. Syaiful Hidayat, peneliti kebijakan pendidikan dari Pusat Kajian Reformasi Pendidikan (PRP).

Ia menilai, penguatan UKS tahun 2025 ini bisa berakhir menjadi ritual tahunan jika pemerintah tidak berani mengubah model kebijakan. UKS bukan hanya soal kampanye cuci tangan. Ini tentang sistem kesehatan sekolah yang harus masuk dalam kurikulum, anggaran, dan evaluasi pendidikan, ujarnya.

Di sebuah SD negeri di perbatasan Karawang - Purwakarta, siswa yang pingsan saat upacara biasanya dibaringkan di lantai musala. Ruang UKS kami dipakai untuk menyimpan bangku rusak, ujar seorang guru sambil tersenyum getir.


Obat-obatan habis sejak dua tahun lalu. Termometer sudah tak berfungsi. Tidak ada tenaga UKS, tidak ada pelatihan.

Padahal menurut survei UNICEF (2023), satu dari tiga anak usia sekolah dasar di Indonesia mengalami gangguan gizi ringan, dan 20 persen mengalami masalah kebersihan pribadi, seperti infeksi kulit atau gigi berlubang. Masalah yang seharusnya bisa dicegah jika UKS berjalan efektif.

UKS perlu dihidupkan kembali bukan dengan serangkaian acara seremonial, tetapi dengan reformasi struktural.

Beberapa langkah yang disarankan para ahli antara lain:

  1. Menetapkan UKS sebagai program wajib dengan pendanaan khusus melalui BOS atau APBD.

  2. Menugaskan tenaga kesehatan sekolah minimal satu per kabupaten/kota, seperti model school nurse di negara lain.

  3. Integrasi pendidikan kesehatan ke kurikulum, bukan hanya kegiatan tambahan.

  4. Pemantauan tahunan berbasis data, agar sekolah tak hanya melapor secara administratif.

Selama UKS hanya diukur lewat dokumentasi, bukan kualitas layanan, ia akan terus menjadi pepesan kosong, ujar Dr Yani.

Acara di Karawang mungkin berakhir dengan tepuk tangan, dokumentasi, dan janji sinergi lintas sektor. Tapi bagi banyak sekolah, Usaha Kesehatan Sekolah tetaplah berusaha dalam arti harfiah usaha keras tanpa hasil nyata.

Jika pemerintah sungguh ingin melahirkan anak Indonesia hebat, maka UKS harus berhenti menjadi jargon abadi tanpa makna. Ia harus menjadi sistem nyata yang menjaga anak-anak Indonesia tumbuh sehat, bukan sekadar wacana yang berdebu di ruang sekolah.

Tim Schoolmedia

Berita Selanjutnya
Putusan Bersejarah Anti-SLAPP: Kemenangan bagi Akademisi, Nafas Baru bagi Pembela Lingkungan
Berita Sebelumnya
Indonesia Naikan Target Pengurangan Emisi 31,89% Tahun 2030

Berita Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar