Schoolmedia News Jakarta --- Komisioner Komisi Nasional Perempuan (Komnas PP), Prof Alimatul Qibtiyah Ph.D mengatakan perundungan, intoleransi dan kekerasan seksual telah terjadi diberbagai level, termasuk di satuan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
Dari data SIMFONI PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak) oleh Kemen PPA per 1 Januari 2022 anak usia dini yang mengalami semua bentuk kekerasan (baik fisik, psikis, kekerasan seksual, dsb) mencakup lebih dari 6% dari jumlah total kasus kekerasan yang ditemukan.
Komnas Perempuan sangat mendukung upaya Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi melalui Direktorat PAUD yang berkomitmen kuat menghapus 'tiga dosa besar' di dunia pendidikan yaitu intoleransi, perundungan, dan kekerasan seksual dengan menggelar acara Workshop Upaya Perlindungan Anak dari Tindak Kekerasan di Satuan PAUD di Tangerang, Selasa (28/2).
Menurutnya, sangat penting anak mengetahui bagaimana caranya anak mengenali tanda-tanda kekerasan yang terjadi, melakukan mitigasi risiko kekerasan itu sendiri, dan melindungi dirinya sendiri manakala di sekitarnya tidak ada orang atau benda yang dapat membantu ia melindungi dirinya dari tindak kekerasan. Untuk itu peran Pendidik dan Tenaga Kependidikan serta orang tua (keluarga) sangat krusial.
Dikatakan, Pendidikan dipercaya sebagai proses dan strategi yang sistematis untuk menghidupkan nilai-nilai anti kekerasan dan menghapus perundungan, intoleransi dan kekerasan seksual dan menginformasikan Hak Asasi Manusia Berperspektif Gender (HAMBG).
"Mengembangkan kapasitas kepemimpinan perempuan di Satuan Pendidikan Anak Usia Dini merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan. Termasuk menguatkan kapasitas pimpinan, pengelola dan penyelenggara satuan PAUD dalam mengintegrasikan nilai-nilai HAMBG," ujar Prof Alimatul Qibtiyah.
Kawasan Bebas Kekerasan
Menurut dia, berbagai langkah strategis sebagai upaya menciptakan Kawasan Bebas Kekerasan (KBK) di lingkungan pendidikan telah dilakukan oleh Komnas Perempuan lintas generasi kepemimpinan. Di antaranya pengembangan Pedoman Pendidikan Hak Asasi Manusia Berperspektif Gender (HAMBG) yang telah diujicobakan ke sejumlah sekolah tingkat menengah di berbagai wilayah di Indonesia.
Juga, pengintegrasian HAMBG dalam kurikulum melalui Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) sejak 2017-2021 yang berkolaborasi dengan Dinas Pendidikan DKI Jakarta dan Dinas Pendidikan Provinsi Maluku. Upaya sistemik dan menyeluruh untuk menciptakan pendidikan bebas kekerasan dilakukan dengan menyusun dokumen indikator Standard Setting Kawasan Bebas Kekerasan (KBK) dalam Sistem Pendidikan.
Indikator disusun menggunakan perspektif HAM dan gender, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keberagaman, dan nir-kekerasan, terlebih kekerasan terhadap perempuan.
Dalam menjalankan mandatnya, Komnas Perempuan telah mempromosikan dan mendorong sebuah sistem pendidikan yang mengintegrasikan nilai-nilai Hak Asasi Manusia Berperspektif Gender (HAMBG) kepada kementerian dan lembaga terkait, seperti Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Kementerian Agama, Dinas Pendidikan Provinsi, lembaga pendidikan ormas keagamaan, serta organisasi masyarakat sipil lainnya yang peduli dengan isu-isu pendidikan.
Lembaga pendidikan merupakan institusi strategis dalam upaya pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan kekerasan seksual. Penting bagi para pendidik dan pembuat kebijakan di lembaga pendidikan memahami isu-isu kekerasan seksual dan hak asasi perempuan yang merupakan bagian dari hak asasi manusia.
Kurangnya perspektif HAM dan gender, baik dalam kebijakan pendidikan atau di kalangan tenaga kependidikan seringkali menyebabkan terjadinya diskriminasi, intoleransi, dan kurangnya keberpihakan pada korban, baik itu korban kekerasan seksual, korban intoleransi, maupun perundungan.
Perlu Tindak Lanjut
Berbagai langkah strategis yang telah dilakukan oleh Komnas Perempuan dalam menyebarluaskan HAM Berperspektif Gender di satuan pendidikan perlu dilakukan tindak lanjut. Oleh sebab itu, hadirnya sebuah instrumen berupa indikator Standard Setting Kawasan Bebas Kekerasan (KBK) dalam satuan pendidikan yang komprehensif sangat penting sebagai metode strategis dalam mengintegrasikan prinsip-prinsip dan nilai-nilai HAMBG dalam sistem pendidikan nasional.
Dalam perjalanannya di tahun 2022, dokumen instrumen ini telah mendapatkan masukan-masukan dari diskusi terfokus dengan para ahli dan telah diujicobakan bersama Dinas Pendidikan Provinsi dan perwakilan guru Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP).
Penulis dan Foto Eko
Tinggalkan Komentar