
Schoolmedia News Jakarta ââ¬â Di balik tirai panggung Gedung Pewayangan Kautaman, suara gamelan menggema, mengiringi langkah-langkah kecil anak-anak yang tengah bersiap memainkan wayang. Tangan mungil mereka menggenggam tokoh-tokoh pewayangan dengan penuh khidmatââ¬âada yang menjadi Arjuna, ada pula yang memerankan Semar dengan suaranya yang lucu dan bijak. Di sinilah, di panggung Festival Dalang Anak Nasional ke-18 Tahun 2025, masa depan seni pewayangan menemukan napas mudanya.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Pratikno, membuka acara itu dengan pesan yang menukik tajam: di tengah percepatan kemajuan bangsa, akar budaya tidak boleh tercerabut. ââ¬ÅMenjulang tinggi itu wajib, tapi mengakar kuat itu utama,ââ¬Â ujarnya, disambut tepuk tangan hadirin.
Pratikno menegaskan bahwa pewayangan bukan sekadar hiburan, melainkan cermin nilai-nilai kehidupan. Ia mengaitkan pesan-pesan tokoh pewayangan dengan tantangan masa kini: Bima yang mencintai alam, Dewi Sri yang melambangkan ketahanan pangan, serta Kresna dan Semar yang mengajarkan kedamaian dan persatuan. ââ¬ÅDari mereka kita belajar tentang ekologi, pangan, dan harmoni sosial,ââ¬Â katanya.
Namun di balik pesan besar itu, ada getar kecil yang tak kalah penting: kisah anak-anak dari berbagai penjuru Indonesia yang membawa semangat menjaga warisan budaya dengan caranya sendiri.
Salah satunya adalah Salsa Aurel Rahmawati, 11 tahun, dari Bantul, Yogyakarta. Dengan busana lurik sederhana dan rambut dikuncir dua, ia tampak percaya diri memainkan kisah Dewi Sri. Suaranya bergetar, namun matanya penuh nyala.
ââ¬ÅSaya suka Dewi Sri karena dia penyayang dan menjaga sawah. Kalau nggak ada Dewi Sri, orang-orang bisa kelaparan,ââ¬Â katanya polos usai tampil. Ayahnya, seorang petani, adalah sosok yang menanamkan kecintaannya pada tanah dan alam. ââ¬ÅAku ingin orang tetap menanam, jangan semua tanah dijadikan bangunan,ââ¬Â ucapnya mantap.
Dari sisi lain panggung, Rifqi Saputra, 10 tahun, dari Tegal, tampil memerankan Punakawan. Gerakannya lincah, suaranya berubah-ubah antara lucu dan bijak. ââ¬ÅSaya senang bikin orang tertawa, tapi juga ingin orang ingat pesan Semar: jangan sombong,ââ¬Â katanya.
Baginya, menjadi dalang bukan sekadar tampil di panggung, tapi juga belajar mengendalikan emosi. ââ¬ÅKalau main wayang, kita harus sabar, harus hafal cerita. Kadang ngantuk, tapi kalau udah di panggung rasanya senang banget,ââ¬Â ujarnya sambil tersenyum malu.
Gelaran Tahunan PEPADI
Festival ini menjadi ajang tahunan yang digelar oleh Persatuan Pedalangan Indonesia (PEPADI), melibatkan puluhan dalang cilik dari seluruh nusantara. Mereka datang dari daerah dengan dialek dan gaya pedalangan yang berbedaââ¬âgaya Jawa, Sunda, Bali, hingga Banyumasan.
Ketua PEPADI, Ki Gondo Tristiyono, mengatakan bahwa tahun ini festival mengusung tema ââ¬ÅAnak Berkisah, Budaya Bernapas.ââ¬Â Tema itu, katanya, dipilih karena pewayangan kini menghadapi tantangan serius di tengah gempuran budaya digital.
ââ¬ÅAnak-anak sekarang lebih akrab dengan gadget ketimbang gamelan. Tapi di sinilah kita melihat masih ada api kecil yang menyala. Mereka, dalang-dalang cilik ini, adalah penjaga api itu,ââ¬Â ujar Ki Gondo.
Ia menambahkan, banyak peserta festival yang lahir dari keluarga sederhana, bahkan beberapa tidak memiliki perangkat wayang sendiri. ââ¬ÅAda yang belajar dari YouTube, ada yang meniru bapaknya yang dalang kampung. Tapi semangatnya luar biasa,ââ¬Â ujarnya.
Di balik keseriusan latihan dan penampilan, festival ini juga menjadi ruang bermain dan bersahabat. Anak-anak peserta saling bertukar cerita, belajar menabuh gamelan, hingga tertawa bersama di sela lomba.
ââ¬ÅIni pertama kali saya ke Jakarta. Saya senang bisa tampil dan ketemu teman dalang dari Bali dan Jawa Tengah,ââ¬Â kata Kadek Arta Wirawan, 12 tahun, dari Gianyar, Bali. Ia tampil dengan gaya wayang Bali yang ekspresif dan ritmis.
Kadek mengaku mengenal wayang sejak kecil dari kakeknya. ââ¬ÅKakek bilang, jadi dalang itu bukan cuma bicara, tapi harus ngerti makna hidup,ââ¬Â ujarnya. Ia ingin kelak membuat pertunjukan wayang yang bisa ditonton di sekolah-sekolah. ââ¬ÅSupaya teman-teman nggak lupa budaya kita,ââ¬Â tambahnya.
Belajar Sabar, Disiplin dan Hormat Leluhur
Bagi para pembimbingnya, melihat anak-anak tampil di panggung besar adalah kebanggaan tersendiri. ââ¬ÅMereka belajar kesabaran, disiplin, dan menghormati leluhur. Itu lebih penting dari menang lomba,ââ¬Â kata Ki Sumarno, salah satu pelatih dari Solo.
Meski berangkat dari tradisi tua, pewayangan justru kini menemukan ruang baru di dunia digital. Beberapa peserta bahkan menayangkan penampilannya melalui kanal YouTube pribadi atau media sosial.
ââ¬ÅKita tidak menolak kemajuan. Justru kalau anak-anak bisa main wayang di YouTube atau TikTok dengan cara yang menarik, itu tanda budaya kita adaptif,ââ¬Â kata Pratikno di sela wawancara. Ia menegaskan, pemerintah akan terus mendukung inisiatif yang menggabungkan pelestarian budaya dengan inovasi teknologi.
Menurutnya, Festival Dalang Anak adalah bukti bahwa seni tradisi masih punya masa depan. ââ¬ÅKita tidak sedang bernostalgia, kita sedang menanam masa depan,ââ¬Â katanya.
Wayang telah diakui UNESCO sejak 2003 sebagai Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity. Tapi pengakuan itu, kata Pratikno, bukan akhir dari perjuangan, melainkan awal dari tanggung jawab.
ââ¬ÅWayang hidup bukan karena pengakuan dunia, tapi karena masih dimainkan dan dicintai oleh rakyatnya,ââ¬Â ucapnya.
Di penghujung acara, ketika seluruh dalang kecil berdiri di panggung membawakan lagu ââ¬ÅPadamu Negeriââ¬Â dengan iringan gamelan, suasana menjadi haru. Orang tua meneteskan air mata, pelatih tersenyum bangga, dan anak-anak melambaikan wayang mereka ke arah penonton.
Di tangan kecil merekalah, masa depan pewayangan bertumbuhââ¬âbukan sekadar sebagai seni pentas, tetapi sebagai bahasa hati bangsa yang terus mengakar dan menjulang di tengah perubahan zaman.
Tim Schoolmedia
Tinggalkan Komentar