Indonesia, merupakan salah satu negara kepulauan yang istimewa ; terletak di antara dua benua, berada di wilayah khatulistiwa, dan sebagian besar pulau-pulau di negeri ini berada pada jalur cincin api Pasifik (Pacific's Ring of Fire). Apa itu cincin api Pasifik ? Cincin api Pasifik merupakan satu istilah untuk menggambarkan rangkaian jalur gunung berapi di "pinggiran" (atau kadang disebut cekungan) Samudera Pasifik. Secara kebetulan sebagian besar kepulauan Indonesia berada di jalur tersebut. Satu pertanda yang sangat jelas dari keberadaan kita di jalur cincin api Pasifik adalah banyaknya gunung berapi aktif di Pulau Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan beberapa pulau di wilayah Indonesia bagian Timur.
Dampak langsung dari banyaknya gunung berapi yang masih aktif di negeri ini adalah tingginya frekuensi aktifitas vulkanis di daerah sekitar gunung berapi tersebut. Aktifitas tersebut bisa berupa letusan-letusan kecil, gempa bumi, bahkan tsunami. Dan karena begitu dekatnya jarak antara gunung berapi aktif yang satu dengan lainnya, maka sebagian rakyat Indonesia memandang "biasa" aktifitas vulkanis ini. Karena hal tersebut sudah berlangsung selama beratus-ratus tahun bahkan beribu-ribu tahun, maka tak heran jika kehadiran dan dampak gunung berapi di dalam masyarakat Indonesia masuk di dalam pola pikir dan pranata sosial di masyarakat.
Dengan segala kurang lebihnya, para penduduk di sekitar gunung berapi sudah memiliki kearifan lokal dalam menghadapi tantangan alam tersebut. Hal tersebut bisa diketahui dari banyaknya aturan adat lokal gunung berapi yang secara khusus merujuk pada situasi atau kondisi atau antisipasi dalam hidup berdampingan dengan gunung berapi.
Dalam konteks pemahaman pada cincin api Pasifik dan ancaman alam dan ketanggap-bencanaan, satu negara di dunia yang begitu "aware" alias peduli dengan hal ini adalah Jepang. Jepang sudah lama diketahui sebagai negara yang sangat sering menghadapi bencana gempa. Hal ini terjadi karena kebetulan Jepang juga merupakan salah satu negara yang berada di jalur cincin api Pasifik. Berbeda dengan negara-negara lain di jalur cincin api Pasifik yang sama, Jepang mengambil tindakan mitigasi bencana yang sangat komprehensif dalam menghadapi ancaman alam tersebut.
Sebagai salah satu peradaban yang sudah tua, bisa diduga bahwa Jepang telah melakukan evolusi mitigasi bencana yang baik, sehingga tetap bertahan hingga saat ini. Ini bisa dilihat dari cepatnya tanggap bencana di Jepang yang sinergis dengan sikap masyarakat Jepang yang sangat mengutamakan korban bencana. Lebih dari itu, dalam konteks mitigasi bencana, secara teknologi, Jepang bisa disebut satu-satunya negara di dunia yang menempatkan stasiun peringatan gempa dan tsunami dalam jumlah yang sangat banyak di seluruh wilayah Jepang. Dari sisi pendidikan, kurikulum tanggap bencana tak hanya disampaikan sebagai satu pengetahuan, tapi secara rutin dilatihkan dan disimulasikan di sekolah-sekolah di Jepang. Satu hal yang luar biasa karena hal-hal tersebut membutuhkan kesadaran dan komitmen bersama tanpa kecuali.
Dengan melihat fakta-fakta ancaman bencana yang ada di Indonesia, sudah semestinya jika pemerintah dan rakyat di negeri bisa melihat upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan rakyat Jepang. Apalagi jika dilihat bahwa akhir-akhir ini terjadi beberapa bencana alam yang awalnya bersumber dari aktifitas gunung berapi atau aktifitas lempeng tektonik Busur Sunda.
Dari sisi pendidikan, seandainya kurikulum tanggap bencana belum dipandang perlu untuk disebutkan secara istilah, tapi materi pengetahuan yang terkait dengan bencana bisa dikenalkan sejak dini, sebagai upaya pembangkitan kesadaran yang nyata sejak dini. Lebih penting lagi, pengetahuan mitigasi bencana wajib disertai dengan simulasi-simulasi yang sesuai untuk lebih memahamkan arti penting dari upaya penyelamatan diri sendiri dan orang lain.
Selain upaya penyadaran secara terstruktur lewat dunia pendidikan, bersamanya perlu upaya dari sisi ilmu pengetahuan dan teknologi yang mutakhir. Secara umum, ini adalah bagian yang mudah, karena prosesnya hanya mengadakan (baca : membuat atau membeli) alat lalu memanfaatkan dan memeliharanya. Tapi kenyataannya alat-alat yang punya fungsi sangat vital tersebut sering tidak aman di tempatnya. Masyarakat belum memiliki kesadaran yang nyata dalam menjaga dan mengupayakan keamanan bersama. Hal ini bisa terjadi, kemungkinan disebabkan oleh dua hal. Sebab pertama adalah kurangnya pemahaman pendidikan tanggap bencana. Dan yang kedua, kemungkinan dorongan kebutuhan primer atau deraan kemiskinan yang melanda. Dua hal yang sama-sama tidak bisa "disegerakan" solusinya karena menyangkut berbagai aspek yang saling berkaitan dan berkepentingan.
Menyadari situasi dan kondisi tersebut, sudah semestinya jika para pemimpin negeri ini wajib menempatkan persoalan mitigasi bencana ini sebagai prioritas utama dalam pembangunan dan pengelolaan negara. Badan-badan dan lembaga-lembaga pemerintah dan non-pemerintah wajib saling bersinergi dan berkoordinasi.
Sekolah-sekolah, lebih khusus lagi sekolah-sekolah yang berada dalam jangkauan bahaya ancaman bencana alam, wajib menyelenggarakan penyadaran ancaman bencana melalui pembelajaran bencana alam yang terintegrasi dengan muatan-muatan materi kurikulum. Simulasi penanganan bencana alam, bisa diintegrasikan ke dalam pembelajaran olah raga atau proyek sosial sekolah. Kemdikbud diharapkan bisa lebih mendorong dan mengawal proses penyadaran ini, selain dengan melatih-didikkan pengetahuan dan simulasi tentang tanggap bencana, juga dengan mendorong munculnya lomba-lomba pemahaman mitigasi bencana antar sekolah. Kemristek diharapkan bisa lebih mendorong dunia riset Indonesia untuk lebih menaruh perhatian pada penemuan-penemuan teknologi yang lebih efisien untuk mengantisipasi ancaman bencana alam. Sedangkan kemenkominfo diharapkan mampu mendorong dan mengawal media-media eletronik dan cetak, dalam negeri dalam mendorong pemahaman yang lebih luas pada antisipasi dan mitigasi bencana alam.
Seluruh upaya-upaya di atas diharapkan mampu menjadikan Indonesia sebagai negara yang peduli dan mampu dalam mengantisipasi dan memitigasi bencana alam yang memang sudah menjadi bagian dari "bonus" geologis dan geografis negeri ini.
Tinggalkan Komentar