
Schoolmedia News Jogyakarta = Gempa bumi, banjir, atau kebakaran hutanâketika bencana melanda, keterpurukan tidak hanya mengenai kerusakan fisik dan kehilangan nyawa. Di balik kegaduhan evakuasi dan upaya penanggulangan, terdapat bahaya tersembunyi yang seringkali terlupakan: kerentanan perempuan terhadap kekerasan seksual. Psikolog dan aktivis HAM menyuarakan kekhawatiran mendesak, meminta perlindungan yang lebih baik agar perempuan tidak menjadi korban kedua setelah bencana.
"Periode pasca-bencana adalah masa yang rentan sekali bagi perempuan mengalami kekerasan seksual," ujar Dosen Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) yang dikutip dari berita resmi UGM. Menurutnya, kondisi kekacauan, kurangnya ruang pribadi, dan lemahnya sistem keamanan di lokasi pengungsian menjadi pemicu terjadinya kejahatan semacam itu. Bukan hanya itu, pergeseran peran sosial dan tekanan emosional yang tinggi juga membuat perempuan lebih rentan terhadap serangan fisik dan seksual.
Data yang tidak lengkap menjadi salah satu hambatan terbesar dalam menangani masalah ini. Banyak kasus kekerasan seksual di lokasi bencana tidak dilaporkan karena berbagai alasan: rasa malu korban, ketidakpercayaan pada lembaga penegak hukum yang sedang sibuk menangani bencana, bahkan kurangnya kesadaran bahwa perilaku tertentu tergolong kejahatan.
"Korban seringkali merasa tidak memiliki tempat untuk berbicara atau takut dihakimi," jelas aktivis HAM dari sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bekerja di daerah rawan bencana, Siti Nurhaliza.
Saat bencana melanda, sistem perlindungan sosial yang biasanya berjalan terputus. Rumah yang menjadi tempat perlindungan hilang, jaringan keluarga dan komunitas terputus, dan otoritas lokal seringkali sibuk menangani kebutuhan dasar seperti makanan, air, dan tempat tinggal. Akibatnya, perempuanâterutama yang terpisah dari keluarga atau menjadi kepala keluargaâmenjadi sasaran mudah. Di pengungsian, ruang tidur yang dibagikan, kurangnya kamar mandi yang aman, dan kurangnya pengawasan membuat mereka rentan terhadap pelecehan verbal, fisik, dan seksual.
Dosen UGM menambahkan bahwa kekerasan seksual di lokasi bencana tidak hanya berasal dari orang asing, tetapi juga dari sesama pengungsi atau bahkan pihak yang seharusnya melindungi. "Ada kasus di mana petugas penanggulangan bencana juga terlibat dalam pelanggaran," katanya. Hal ini semakin memperparah kecemasan korban dan membuat mereka lebih enggan melaporkan.
Untuk mengatasi masalah ini, psikolog dan aktivis HAM menyampaikan serangkaian usulan. Pertama, perlu adanya perencanaan yang matang sebelum bencana terjadi, termasuk penyusunan protokol perlindungan perempuan di lokasi pengungsian. Protokol ini harus mencakup penyediaan ruang pribadi yang aman, kamar mandi terpisah untuk laki-laki dan perempuan, serta tim keamanan yang terlatih untuk menangani kasus kekerasan.
Kedua, perlu peningkatan kesadaran di antara pengungsi dan petugas penanggulangan bencana tentang pentingnya menghormati hak asasi manusia perempuan. "Pelatihan harus diberikan kepada semua pihak yang terlibat dalam penanggulangan bencana, agar mereka memahami apa itu kekerasan seksual dan bagaimana menangani kasus yang dilaporkan," jelas dosen UGM.
Ketiga, perlu adanya saluran pelaporan yang mudah diakses dan aman untuk korban. Saluran ini harus dioperasikan oleh pihak yang netral dan terlatih, sehingga korban merasa aman dan percaya untuk memberitakan kejadian. Selain itu, perlu adanya dukungan psikologis untuk korban, karena kekerasan seksual dapat menyebabkan dampak emosional yang parah.
Keempat, pemerintah harus memastikan bahwa kasus kekerasan seksual di lokasi bencana ditindak tegas dan sesuai hukum. "Tidak boleh ada kebebasan bagi pelaku kejahatan," tegas Siti Nurhaliza. Pemerintah juga harus mengumpulkan data yang akurat tentang jumlah kasus kekerasan seksual di lokasi bencana, agar kebijakan yang dibuat lebih tepat sasaran.
Upaya ini tidak dapat dilakukan oleh satu pihak saja. Perlu kerja sama antara pemerintah, LSM, komunitas, dan pihak swasta untuk memastikan perlindungan yang optimal bagi perempuan di lokasi bencana. "Kita tidak boleh menunggu bencana terjadi untuk mulai bertindak," katanya. Perlindungan perempuan harus menjadi bagian tak terpisah dari penanggulangan bencana, bukan sesuatu yang ditambahkan nanti.
Di tengah ancaman bencana yang semakin sering terjadi akibat perubahan iklim, perlindungan perempuan menjadi semakin penting. Tanpa langkah-langkah yang tegas, mereka akan terus menjadi korban kedua yang terlupakan. Semoga keinginan psikolog dan aktivis HAM segera terwujud, sehingga perempuan di lokasi bencana dapat merasa aman dan terlindungi.
Sumber referensi: https://ugm.ac.id/id/berita/rentan-jadi-korban-kekerasan-seksual-dosen-ugm-desak-perlindungan-perempuan-di-lokasi-bencana/
Tinggalkan Komentar