Schoolmedia News Jayapura === Menjelang perayaan 80 tahun kemerdekaan Indonesia, situasi di Kabupaten Puncak Jaya, Papua, justru diwarnai dengan operasi militer yang menyisakan duka. Sejumlah warga sipil menjadi korban, rumah ibadah terbakar, hingga anak berusia 13 tahun mengalami luka tembak. Deretan peristiwa itu mencerminkan rapuhnya perlindungan warga sipil dalam operasi bersenjata di Tanah Papua.
Pada 7 Agustus 2025, Komando Operasi Satgas Habema melakukan operasi pengamanan di Kampung Oholumu, Distrik Mewoholu, Kabupaten Puncak Jaya. Malam harinya, seorang anak perempuan berusia 13 tahun tertembak di sekitar rumahnya. Ia ditemukan keluarga pada keesokan harinya (8/8) dengan luka tembak di paha kanan, kemudian dilarikan ke RSUD Mulia.
Menurut keterangan keluarga, malam itu sang anak keluar rumah menuju kamar mandi dengan membawa senter sebagai penerangan. âKami tidak menyangka, anak kecil bisa jadi korban di kampungnya sendiri,â ungkap seorang kerabat saat ditemui di Jayapura.
Sehari setelahnya, pada 8 Agustus, pihak TNI mengumumkan adanya kontak senjata di lokasi yang sama. Namun warga melaporkan insiden lebih luas: beberapa rumah dan fasilitas Gereja Injili di Indonesia (GIDI) rusak akibat ledakan dan kebakaran. Rasa takut mendorong sebagian warga mengungsi dari kampungnya, menambah panjang daftar pengungsi internal di Papua.
LBH Papua dan YLBHI mencatat setidaknya tiga dugaan pelanggaran HAM:
-
Rumah warga dan fasilitas Gereja GIDI hancur dan terbakar.
-
Seorang anak perempuan berusia 13 tahun tertembak dan kini menjalani perawatan medis.
-
Warga Kampung Oholumu harus meninggalkan rumah dan hidup sebagai pengungsi internal.
Ketiga peristiwa ini dinilai melanggar prinsip dasar perlindungan warga sipil di wilayah konflik bersenjata, seperti yang dijamin oleh Konvensi Jenewa 1949 (diratifikasi melalui UU No. 59 Tahun 1958), serta ketentuan Perlindungan Khusus terhadap Anak dalam Konflik Bersenjata dalam UU No. 34 Tahun 2014, khususnya Pasal 59 dan 60.
Pada 22 Agustus 2025, mahasiswa asal Puncak Jaya yang berada di Jayapura menggelar demonstrasi di depan Kantor DPR Papua. Mereka menuntut penarikan pasukan non-organik dari Kabupaten Puncak Jaya. âKami tidak menolak perayaan kemerdekaan, tetapi jangan sampai perayaan itu dibayar dengan darah rakyat kecil,â seru seorang orator aksi.
Di hari yang sama, YLBHI bersama LBH Papua secara resmi melaporkan dugaan pelanggaran HAM ke Kantor Komnas HAM RI Perwakilan Papua, mendesak lembaga tersebut membentuk tim investigasi independen dan segera turun ke lapangan.
Data terbaru Komnas HAM Perwakilan Papua menunjukkan kondisi yang semakin mengkhawatirkan. Hingga 12 Juni 2025, tercatat 40 kasus kekerasan dilaporkan melalui Sistem Pengaduan HAM (SPH), terdiri atas:
-
27 kasus kontak senjata dan penembakan,
-
11 kasus penganiayaan,
-
1 kasus perusakan,
-
1 kasus kerusuhan.
Dampaknya juga serius: 75 korban, termasuk warga sipil, aparat, dan anggota TPNPBâOPM. Dari jumlah tersebut, 48 di antaranya adalah warga sipil: 35 tewas dan 13 luka-luka. Puncak Jaya termasuk salah satu daerah terdampak, dengan lima kasus kekerasan dilaporkan di wilayah ini.
Selain itu, sepanjang 2024, Komnas HAM mencatat 113 insiden pelanggaran HAM di Papua, dengan 85 di antaranya berdimensi konflik bersenjata dan kekerasanâtermasuk kontak senjata, serangan oleh kelompok bersenjata, dan penyerangan terhadap warga sipil.
Kasus Puncak Jaya 2025 jelas bukan fenomena baru. Sejarah panjang kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua meliputi:
-
Era Orde Baru: Operasi militer seperti Tumpas, Sadar, dan Kasuari yang di bawah laporan TAPOL dan Amnesty menyebut ribuan warga sipil menjadi korban penghilangan, penyiksaan, dan pembunuhan.
-
Tragedi Wasior 2001: Penyelidikan Komnas HAM menemukan 4 orang tewas, 39 disiksa, 1 mengalami kekerasan seksual, dan 4 hilang paksa. Rumah-rumah juga dirusak dan dibakarâtetapi hingga kini belum diproses sebagai pelanggaran HAM berat di ranah yudisial.
-
Insiden Wamena 2003: Operasi sweeping oleh aparat keamanan mengakibatkan minimal 9 warga tewas, 38 luka-luka, pemaksaan relokasi terhadap sekitar 7.000 warga, serta 42 orang meninggal akibat kelaparan saat mengungsi
-
Kasus Bloody Paniai 2014: TNI menembaki massa protes, menewaskan 5 pemuda remaja dan melukai 17 lainnya. Komnas HAM kemudian menyatakan insiden ini sebagai pelanggaran HAM beratânamun proses hukum masih berlarut-larut.
-
Skandal Torture Omukia 2024: Terekam video penyiksaan dua tersangka OPM dalam tong besi oleh aparat militer mendapat sorotan luas dan dikategorikan sebagai
Rangkaian pelanggaran ini menegaskan bahwa pendekatan militer tanpa kontrol hak asasi manusia justru memperdalam luka dan ketidakpercayaan masyarakat Papua terhadap negara. YLBHI dan LBH Papua mengingatkan bahwa:
âMasyarakat sipil seharusnya menjadi pihak yang paling dilindungi, bukan yang dikorbankan atas nama keamanan negara.â
Momentum 80 tahun kemerdekaan Indonesia ini semestinya menjadi titik balik: apakah janji kemerdekaan telah benar-benar dirasakan oleh seluruh rakyat, termasuk mereka di ujung timur negeri ini?
Refleksi tanpa tindakan nyata hanya akan memperpanjang duka.
Dalam laporan resmi yang disampaikan pada 15 Juni 2025, Kepala Komnas HAM Perwakilan Papua, Frits B. Ramandey, menyoroti tren kekerasan bersenjata di berbagai wilayah Papua. Berdasarkan data dari Sistem Pengaduan HAM (SPH) hingga 12 Juni 2025, tercatat 40 kasus kekerasan, yang terdiri dari:
-
27 kasus kontak senjata dan penembakan,
-
11 kasus penganiayaan,
-
1 kasus perusakan,
-
1 kasus kerusuhan
Dampak kekerasan tersebut sangat serius: sebanyak 75 orang menjadi korbanâtermasuk 35 warga sipil tewas dan 13 luka-luka
Dalam pernyataannya, Frits mengungkapkan:
âKami melihat tren kekerasan di Tanah Papua masih terus berlanjut dan cenderung meningkat,â
dan menekankan bahwa, âpembentukan tim penyelesaian konflik oleh Presiden sangat penting agar kasus kekerasan terutama bersenjata tidak terulang lagi seperti tahun-tahun sebelumnya.â
Tim Scchoolmedia
Sumber Berita YLBHI dan Komnas HAM
Tinggalkan Komentar