Schoolmedia News Jakarta === Penulisan ulang sejarah nasional adalah pekerjaan besar, dan dalam konteks Indonesia yang telah memasuki usia 80 tahun kemerdekaan, hal itu semestinya dilakukan secara reflektif dan otokritik.
Di tengah wacana pemerintah Presiden Prabowo Subianto melalui Kementerian Kebudayaan untuk merumuskan narasi sejarah baru bangsa, suara-suara kritis mulai bermunculan. Salah satunya datang dari anggota DPR sekaligus sejarawan, Bonnie Triyana, yang menekankan pentingnya menjauhi jebakan glorifikasi dan pengingkaran sejarah.
Dalam diskusi publik yang diselenggarakan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) secara daring pada Selasa, 29 Juli 2025, Bonnie mengingatkan bahwa proyek historiografi nasional yang ambisius ini harus bersandar pada nilai-nilai kejujuran historis, bukan kepentingan politik sesaat.
Menurutnya, sejarah bukan sekadar bahan ajar di sekolah, tapi juga cerminan dari proses pematangan bangsa yang belajar dari masa laluâbaik yang membanggakan maupun yang kelam.
âMaka sebagai konsekuensi dari harapan tersebut untuk membuat historiografi yang kritis, yang lebih reflektif, lebih otokritik, kita harus berani juga membuka peristiwa-peristiwa kelam yang bisa kita pelajari sama-sama,â tegas Bonnie.
Bonnie membandingkan proyek historiografi resmi di Indonesia dengan pengalaman sejumlah negara yang memiliki kecenderungan otoriter seperti Cina, Uni Soviet, Filipina, hingga Kongo.
Di negara-negara tersebut, penulisan ulang sejarah kerap menjadi alat kekuasaan untuk membenarkan status quo, menutupi kejahatan masa lalu, atau menanamkan doktrin ideologis yang membatasi kebebasan berpikir kritis.
âIni bukan kekhawatiran kosong,â kata Bonnie. âKita bisa melihat bahwa dalam banyak rezim otoriter, sejarah digunakan sebagai instrumen kontrol, bukan sebagai sarana pembelajaran kolektif.â
Oleh karena itu, ia mengingatkan bahwa Indonesia, sebagai negara demokratis yang telah melewati berbagai fase pentingâdari kolonialisme, kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, hingga reformasiâharus bersikap hati-hati agar tidak jatuh dalam jebakan historiografi yang elitis dan eksklusif.
Sejarah penulisan sejarah Indonesia sendiri memiliki akar panjang. Bonnie menguraikan bahwa narasi sejarah nasional telah melalui beberapa fase. Mulai dari historiografi tradisional yang bercorak istanasentrisâdalam hal ini memuliakan raja-raja sebagai utusan langitâlalu bergeser ke historiografi kolonial yang bias kepentingan penjajah Belanda, hingga historiografi kemerdekaan yang berupaya membentuk identitas nasional.
Puncaknya, pada tahun 1957, diselenggarakan Seminar Sejarah Nasional di Yogyakarta yang menjadi tonggak awal penyusunan narasi sejarah Indonesia secara resmi. Hasilnya adalah enam jilid buku Sejarah Nasional Indonesia yang diterbitkan pada 1970-an. Namun, jilid terakhir dari buku tersebut sempat memicu kritik karena dianggap terlalu mengultuskan Soeharto, tokoh sentral Orde Baru.
âJadi kalau misalkan disampaikan sejarah nasional kali ini ditulis dengan menggunakan perspektif penulisan sentris, sebetulnya itu formulasi yang sudah dimulai sejak 1957,â jelas Bonnie. Artinya, penulisan sejarah dari perspektif nasional memang penting, tetapi tetap harus inklusif dan terbuka terhadap berbagai narasi lainâtermasuk dari kelompok minoritas, daerah, atau korban kekerasan negara.
Dalam pandangan Bonnie, sejarah bukanlah milik negara atau elite politik. Sejarah adalah milik rakyat, dan karena itu proses belajar sejarah tidak hanya berlaku bagi generasi muda atau peserta didik di sekolah, melainkan juga untuk negara itu sendiri.
âNegara harus juga belajar dari sejarahnya sendiri. Jangan menganggap bahwa sejarah adalah alat untuk mendidik rakyat saja, sementara penguasa tidak perlu belajar,â katanya.
Ia menegaskan bahwa setiap upaya menulis ulang sejarah harus didasarkan pada prinsip keterbukaan, keberanian menghadapi masa lalu, serta komitmen terhadap keadilan historis. Menyembunyikan peristiwa seperti kekerasan 1965, pelanggaran HAM di Papua, penghilangan paksa aktivis, dan represi selama Orde Baru, hanya akan menjauhkan bangsa dari kematangan politik dan moral.
Proyek penulisan ulang sejarah nasional yang sedang dirancang oleh Kementerian Kebudayaan di era Presiden Prabowo Subianto adalah momentum penting. Namun, momentum ini hanya akan bermakna jika diarahkan untuk menyusun narasi yang inklusif, kritis, dan membebaskan.
Narasi sejarah yang emansipatif adalah narasi yang tidak takut menghadapi kenyataan. Ia tidak membungkam suara-suara korban, tidak menghapus peran tokoh-tokoh yang kritis terhadap kekuasaan, dan tidak menjadikan masa lalu sebagai lahan politisasi demi kepentingan sesaat.
Sejarah yang demikian tidak hanya akan membangun memori kolektif yang sehat, tetapi juga memperkuat komitmen bangsa terhadap demokrasi, keadilan, dan kemanusiaan.
âJangan sampai sejarah nasional kita berubah menjadi semacam mitos negara,â tutup Bonnie, âkarena sejarah bukan soal siapa yang menang, tetapi soal apa yang benar.â
Tinggalkan Komentar