Cari

1,7 Juta Keluarga Masih Miskin, Menteri LHK Kumpulkan 26 Profesor

Ilustrasi anak yang berasal dari kategori keluarga miskin, Foto: Pixabay

 

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya mengantongi 60 petunjuk dari 26 profesor yang berkumpul membahas pertimbangan kebijakan pemerintah dalam menjamin kesejahteraan masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan hutan.

Berdasarkan Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan, saat ini terdapat 25.863 desa di dalam dan di sekitar kawasan hutan ada 9,2 juta rumah tangga. Dari jumlah tersebut, terdapat sebanyak 1,7 juta rumah tangga yang masuk dalam kategori keluarga miskin.

“Catatan saya di sini ada 29 halaman dan 60 ‘pointer’ yang sangat berguna bagi pengambilan kebijakan ke depan. Kami akan bersinergi secara internal KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, red) maupun eksternal dengan Kementerian terkait dan para pihak agar masyarakat hutan memperoleh hak-haknya,” kata Siti, Sabtu, 9 Maret 2019.

Sebelumnya ia mengatakan pertemuan tersebut bertujuan untuk memetik pertimbangan para ahli terkait langkah korektif kebijakan pemerintah dalam menjamin kesejahteraan masyarakat yang tinggal di dalam kawasan hutan.

“Kita perlu mempertimbangkan kebutuhan masyarakat dan hak konstitusional mereka, ukuran kewajiban negara, serta mencermati mekanisme yang telah diatur sesuai dengan kondisi sekarang,” ujar Siti.

Siti menjelaskan pertimbangan untuk menata permukiman masyarakat di dalam kawasan hutan tersebut diambil oleh pemerintah mengingat seharusnya masyarakat yang tinggal dekat dengan sumber daya alam tergolong kaya.

Catatan menunjukkan bahwa dalam kurun waktu yang panjang sejak sistem register hutan hingga kini konsep tata ruang, luas kawasan hutan terus turun. Pada tahun 1978-1999 kawasan hutan Indonesia tercatat seluas 147 juta hektare (ha), kemudian turun pada periode 1999-2009 menjadi seluas 134 juta ha, lalu menjadi 126 juta ha dari tahun 2009 hingga sekarang.

Sebelum 2014, alokasi perizinan pengelolaan dan pemanfaatan hutan kepada swasta mencapai 32,74 juta ha atau sebesar 98,53 persen, sedangkan untuk masyarakat terhitung sangat kecil yaitu hanya 1,35 persen.

Langkah korektif, kata Siti, kemudian ditempuh pemerintah melalui program perhutanan sosial dan reformasi agraria untuk memastikan bahwa keberadaan hutan harus dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Selama periode 2015-2018, telah dikeluarkan izin seluas 6,49 juta ha dengan komposisi perizinan swasta hanya 1,57 juta ha atau 24,7 persen dan izin kepada masyarakat meningkat menjadi 4,91 juta hektare atau 75,54 persen. 

Dengan demikian, total areal izin untuk masyarakat dari awal hingga kini menjadi seluas 5,4 juta hektare atau 13,49 persen, meningkat dari tahun 2014 yang hanya sebesar 1,35 persen.

Prof. Hariadi Kartodiharjo dari Institut Pertanian Bogor (IPB) mengatakan perspektif penataan permukiman bukanlah tujuan akhir semata, namun sebuah strategi bagaimana memastikan masyarakat berdaulat.

Menurut Hariadi, menjadi dilema bagi pemerintah saat masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari hutan justru dianggap menduduki atau merambah kawasan hutan. Problematika rumit juga ditemui di lapangan seperti adanya transaksi tanah hingga proses pengukuhan kawasan hutan yang tidak selesai 100 persen dalam antrean lemahnya tindak lanjut pengawasan usai sebuah Surat Keputusan (SK) diterbitkan.

Sementara itu, Prof San Afri Awang dari Universitas Gadjah Mada (UGM) mengatakan instrumen regulasi yang ada saat ini belum bisa menyelesaikan kasus-kasus yang berkembang dan memiliki variasi aspek permasalahan yang beragam, baik di Jawa dan luar Jawa.

“Prospek perubahan dapat dalam wujud makro misalkan dengan merevisi sebuah undang-undang, atau secara mikro seperti penyesuaian program perhutanan sosial dan reforma agraria yang telah ada,” ujar San Afri.

Pertemuan dengan 26 profesor dengan keilmuan kehutanan dan lingkungan hidup dari 11 universitas tersebut membahas persoalan permukiman di dalam dan sekitar kawasan hutan. Pertemuan tersebut terlaksana di Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda, Kalimantan Timur, Sabtu (9/3).

Para profesor itu berasal dari Institut Pertanian Bogor, Universitas Gadjah Mada, Universitas Jambi, Universitas Lambung Mangkurat, Universitas Sumatera Utara, Universitas Islam Negeri Riau, Universitas Mulawarman, Universitas Tanjung Pura, Universitas Hasanuddin, Universitas Tadulako, hingga Universitas Papua.

Lipsus Selanjutnya
Karawang Sediakan Rp 7 Miliar Bangun Puluhan Taman
Lipsus Sebelumnya
Rini: Kereta Api Cepat Pertama Se-Asean Ada di Jabar Tahun 2021

Liputan Khusus Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar