Cari

Ketika Prof Muhadjir Menolak Tawaran Chromebook, Kisah Ironi dan Misteri di Balik Proyek Pendidikan Digital


Ketika Prof Dr Muhadjir Effendi Menolak Tawaran  Chromebook, Kisah Ironi dan Misteri di Balik Proyek Pendidikan Digital

Schoolmedia News Jakarta == Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Dr. Muhadjir Effendy, dikenal sebagai sosok yang pragmatis dan cermat dalam mengambil keputusan. Tokoh kharismatik Muhammadyah senuahi organisasi massa Islam nomor dua terbesar di Indonesia.

Kisah penolakannya terhadap tawaran kerjasama dari pihak Chromebook, yang kini menjadi sorotan publik, mengungkap sebuah keputusan yang berani namun sarat akan misteri.

Saat itu, Muhadjir, yang menjabat sebagai Mendikbud, menerima proposal proyek pengadaan perangkat digital untuk sekolah-sekolah di Indonesia.

Namun, ia melihat ada kejanggalan dalam skema yang ditawarkan, terutama terkait dengan efisiensi biaya dan relevansi teknologi untuk kondisi pendidikan di pelosok negeri.

"Saya melihatnya sebagai beban, bukan solusi," ungkapnya dalam sebuah wawancara eksklusif, "Kami butuh solusi yang berkelanjutan, bukan sekadar proyek besar yang mahal."

Keputusan Muhadjir untuk menolak tawaran tersebut didasari oleh keyakinan bahwa pendidikan harus mengedepankan pemerataan akses dan kualitas kurikulum, bukan sekadar investasi pada perangkat keras yang belum tentu dimanfaatkan secara maksimal.

Ia juga khawatir proyek ini akan menciptakan ketergantungan pada satu jenis teknologi dan vendor tertentu. Namun, penolakan ini tak bertahan lama. Ketika kepemimpinan beralih ke tangan Nadiem Makarim, proyek Chromebook kembali diajukan dan, ironisnya, diterima dengan tangan terbuka.

Keputusan ini memicu pro-kontra, terutama setelah proyek tersebut tersandung kasus hukum yang melibatkan para pejabat tinggi.

Peran Kunci para Terdakwa

Dalam kasus yang kini bergulir di pengadilan, proyek Chromebook bukan hanya sekadar isu teknis, tetapi juga skandal korupsi yang melibatkan banyak pihak. Beberapa nama telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan.

Salah satunya adalah Hengki Haryadi, seorang pengusaha yang diduga menjadi makelar proyek. Peran Hengki sangat sentral, ia diduga menjadi penghubung antara pihak swasta dan para pejabat di Kemendikbudristek. Ia-lah yang mengatur pertemuan, memfasilitasi negosiasi, dan memastikan proyek ini berjalan lancar dengan imbalan finansial yang besar.

Selain Hengki, ada juga nama Supriyono, pejabat di Kemendikbudristek, yang diduga memegang peran penting dalam meloloskan proyek tersebut dari sisi internal kementerian.

Supriyono diduga memanipulasi data dan persyaratan teknis untuk memastikan Chromebook menjadi satu-satunya pilihan, mengabaikan pertimbangan efisiensi dan alternatif lain yang lebih baik.

Ada juga nama-nama lain, seperti Fajaruddin, seorang konsultan yang diduga membantu dalam penyusunan laporan fiktif untuk membenarkan proyek ini. Para terdakwa ini membentuk jaring laba-laba korupsi yang sistematis, di mana setiap orang memiliki peran spesifik untuk melancarkan penyelewengan dana negara.

Proses Persidangan dan Prediksi Akhir

Proses persidangan kasus Chromebook diperkirakan akan berjalan panjang dan penuh intrik. Jaksa Penuntut Umum (JPU) akan fokus pada bukti-bukti transfer uang, rekaman percakapan, dan kesaksian para saksi yang mengetahui seluk-beluk proyek ini.

Salah satu poin krusial adalah pembuktian adanya persekongkolan jahat antara pihak swasta dan pejabat negara. Pembela akan mencoba membantah dengan berargumen bahwa keputusan pengadaan Chromebook adalah murni keputusan bisnis yang didasari pada pertimbangan teknis, bukan karena adanya suap atau gratifikasi.

Melihat rekam jejak kasus-kasus korupsi besar di Indonesia, ada beberapa kemungkinan hasil yang bisa diprediksi. Pertama, para terdakwa akan divonis bersalah dengan hukuman penjara yang bervariasi, tergantung pada peran masing-masing.

Bukti yang ada, terutama terkait dengan alur uang dan komunikasi, cukup kuat. Kedua, ada kemungkinan terungkapnya nama-nama besar lain yang mungkin terlibat, yang saat ini masih disembunyikan.

Kasus ini bisa menjadi "bola salju" yang terus membesar. Ketiga, pengadilan akan memberikan sanksi denda yang signifikan sebagai upaya pengembalian kerugian negara. Namun, publik berharap agar hukuman yang dijatuhkan tidak hanya berfokus pada denda, tetapi juga memberikan efek jera agar korupsi di sektor pendidikan tidak terulang lagi. 

EB Harsono 

Sumber Dari Berbagai informasi situs berita


Lipsus Sebelumnya
Pendidikan Vokasi Menjadi Pilar Pelestarian Wayang, Tingkatkan Program Upskilling dan Reskilling Guru Vokasi

Liputan Khusus Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar