Cari

Reformasi 1998: Jejak Perlawanan Mahasiswa, Tragedi Kemanusiaan, dan Peran Jurnalis Melawan Kekuasaan Otoriter


Schoolmedia News Jakarta --' Reformasi 1998 adalah salah satu momen paling penting dan bersejarah dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Gelombang besar aksi mahasiswa, dukungan masyarakat sipil, keberanian para jurnalis, serta runtuhnya rezim Orde Baru menjadi titik balik bagi sistem politik yang lebih terbuka dan demokratis.

Namun, di balik keberhasilan menurunkan Presiden Soeharto setelah 32 tahun berkuasa, terdapat catatan kelam tragedi kemanusiaan: penembakan mahasiswa, penculikan aktivis, dan kekerasan terhadap warga sipil yang hingga kini masih menyisakan luka dan tuntutan akan keadilan.

1. Akar Gerakan Reformasi

Gerakan Reformasi muncul akibat kekecewaan dan kemarahan publik terhadap pemerintahan Orde Baru yang otoriter, korup, serta gagal menjawab krisis moneter dan sosial pada akhir 1997 hingga 1998. Harga kebutuhan pokok melonjak tajam, pengangguran meningkat, dan kesenjangan sosial memburuk. Mahasiswa di berbagai kampus mulai melakukan aksi turun ke jalan dengan tuntutan utama: turunkan Soeharto, reformasi total, dan akhiri KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).

2. Penembakan Mahasiswa Trisakti (12 Mei 1998)

Salah satu puncak dari gelombang Reformasi adalah Tragedi Trisakti, di mana empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas ditembak aparat keamanan saat melakukan aksi damai menuntut reformasi di kampus mereka. Keempat korban: Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie, ditembak peluru tajam di dalam dan sekitar kampus.

Penembakan ini memicu kemarahan luas di seluruh Indonesia, menyebabkan demonstrasi besar-besaran dan kerusuhan sosial yang meluas, termasuk pembakaran dan penjarahan di Jakarta. Kerusuhan ini juga diiringi dengan kekerasan terhadap kelompok etnis Tionghoa, termasuk kasus-kasus pemerkosaan yang hingga kini masih menjadi luka kolektif bangsa.

3. Penembakan dan Bentrokan di Kampus Atma Jaya

Pasca Tragedi Trisakti, ribuan mahasiswa dari berbagai universitas berkumpul di Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta untuk melanjutkan perjuangan reformasi. Kampus ini menjadi salah satu pusat perlawanan mahasiswa, namun juga menjadi saksi kekejaman aparat.

Pada 13-14 Mei 1998, terjadi bentrokan hebat antara mahasiswa dan aparat keamanan di sekitar kampus Atma Jaya. Aparat menembakkan gas air mata dan peluru karet, bahkan peluru tajam ke arah mahasiswa dan relawan medis. Sejumlah mahasiswa mengalami luka-luka dan trauma berat. Aksi represif di kampus ini menambah tekanan moral terhadap pemerintahan Soeharto.

4. Pendudukan Gedung DPR/MPR oleh Mahasiswa

Pada 18-21 Mei 1998, ribuan mahasiswa berhasil menduduki Gedung DPR/MPR RI, sebuah langkah simbolis dan historis yang menunjukkan keberanian mahasiswa melawan kekuasaan. Mereka menyuarakan tuntutan reformasi secara langsung di jantung kekuasaan legislatif.

Pendudukan ini berlangsung damai dan menjadi simbol persatuan mahasiswa lintas kampus dan organisasi. Aksi tersebut mendapat simpati luas dari masyarakat, bahkan sebagian TNI mulai bersikap netral dan tak lagi membela status quo.

5. Penculikan Aktivis Pro-Demokrasi

Di tengah gelombang protes, terjadi penculikan terhadap sejumlah aktivis pro-demokrasi oleh aparat yang diduga berasal dari satuan militer elite. Mereka ditangkap secara ilegal, disiksa, dan sebagian besar dibebaskan setelah reformasi. Namun, 13 aktivis dinyatakan hilang dan belum kembali hingga kini.

Beberapa aktivis yang diculik dan selamat antara lain: Nezar Patria, Mugiyanto, Faisol Reza, dan Desmond J Mahesa. Mereka bersaksi tentang praktik penyiksaan di tempat penahanan gelap. Komnas HAM dan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) mengonfirmasi adanya pelanggaran HAM berat dalam kasus ini, namun hingga kini pelakunya belum diadili secara tuntas.

6. Peran Wartawan: Lahirnya Aliansi Jurnalis Independen (AJI)

Di bawah rezim Orde Baru, pers dibungkam dan dikontrol ketat oleh pemerintah. Wartawan yang kritis kerap diintimidasi atau medianya dicabut izin terbit. Namun, perlawanan muncul dari dalam tubuh pers itu sendiri. Pada tahun 1994, tiga media besar dibredel oleh pemerintah: Tempo, Editor, dan Detik. Sebagai respons, para jurnalis mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada 7 Agustus 1994 di Jakarta.

AJI menjadi simbol perlawanan terhadap pers yang tunduk pada kekuasaan. Di masa Reformasi 1998, AJI aktif melaporkan aksi-aksi mahasiswa, pelanggaran HAM, dan mendorong kebebasan pers. Jurnalis-jurnalis AJI ikut turun ke jalan, menyebarkan informasi yang jujur dan melawan disinformasi dari media yang dikontrol negara.

7. Jatuhnya Soeharto dan Harapan Reformasi

Pada 21 Mei 1998, Presiden Soeharto secara resmi mengundurkan diri setelah tekanan yang luar biasa dari rakyat, mahasiswa, dan elemen masyarakat sipil. Wakil Presiden BJ Habibie menggantikannya dan membuka era baru: Reformasi.

Namun, meski Soeharto turun, agenda reformasi belum selesai. Kasus penculikan, pembunuhan mahasiswa, kekerasan terhadap etnis Tionghoa, dan pelanggaran HAM berat lainnya belum dituntaskan. Hingga hari ini, keluarga korban dan masyarakat masih menanti keadilan.

Menolak Lupa, Melawan Penghapusan Sejarah

Reformasi 1998 bukan hanya sejarah, tetapi warisan perjuangan untuk demokrasi yang harus terus dijaga. Upaya sistematis menghapus atau memutarbalikkan fakta-fakta sejarah seperti penembakan mahasiswa, penculikan aktivis, pemerkosaan terhadap perempuan Tionghoa, dan pembungkaman pers adalah bentuk pelecehan terhadap perjuangan rakyat.

Menolak lupa adalah tanggung jawab seluruh generasi. Reformasi bukan hanya tentang menjatuhkan seorang diktator, tetapi tentang menjaga martabat, keadilan, dan hak asasi manusia bagi semua warga negara.

Penulis Eko B Harsono 

Referensi Fakta:

Laporan TGPF Kasus Mei 1998

Komnas HAM: Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat Reformasi

Kesaksian aktivis dan jurnalis dari AJI


Lipsus Sebelumnya
Kementerian Agama Luncurkan Program PRIMA Magang PTKI

Liputan Khusus Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar