Cari

6.547 Kasus Kekerasan Seksual Menimpa Anak, 10.247 Kasus Dialami Perempuan

 

Schoolmedia News Jakarta --- Perkawinan anak saat ini masih menjadi isu nasional yang perlu mendapatkan perhatian dan sinergi multisektor. Terlebih pada masa pandemi Covid-19. Sepanjang 2021 terjadi 10.247 kasus kekerasan terhadap perempuan di mana 15,2 persennya berupa kekerasan seksual. Sebanyak 45,1 persen dari 14.517 kasus kekerasan terhadap anak berupa kekerasan seksual.

Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Agustina Erni mengatakan pada masa pandemi Covid-19 terjadi peningkatan pengajuan dispensasi kawin di beberapa daerah di Indonesia. Beberapa alasan maraknya perkawinan anak, yakni menghindari zina, akibat belum meratanya pemahaman kesehatan reproduksi yang komprehensif, dan faktor ekonomi.

“Berdasarkan data Badan Peradilan Agama (Badilag) pada 2019 terdapat 25.280 kasus pengajuan dispensasi kawin. Pada 2020 angka ini melonjak hingga 65.301 kasus dan pada 2021 masih tinggi dengan jumlah 63.350 kasus. Artinya terdapat peningkatan sekitar 300 persen. Berdasarkan data yang kami terima, dispensasi kawin tertinggi berada di daerah Jawa, yaitu di Pengadilan Agama Kota Surabaya, Pengadilan Agama Kota Semarang, dan Pengadilan Agama Kota Bandung,” ujar Erni, di Jakarta.

Menurut Erni, hal ini juga didorong oleh adanya peningkatan batas usia kawin 16 tahun menjadi 19 tahun sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

“Perkawinan anak bukan hal yang bisa kita anggap remeh karena berdasarkan informasi yang kami terima dari Badilag, pada umumnya usia perkawinannya hanya bertahan 1-2 tahun. Jika terdapat sekitar 65 ribu pasangan yang mengajukan dispensasi kawin dan misalnya satu (1) keluarga tersebut memiliki satu (1) atau dua (2) anak, artinya maka bisa mencapai 130 ribu anak yang terancam mendapatkan pengasuhan tidak layak,” tutur Erni.

Erni mengatakan perkawinan anak menimbulkan berbagai dampak negatif, seperti risiko kematian ibu karena melahirkan di usia muda, stunting, meningkatnya angka kemiskinan, dan masih banyak lagi. “Kondisi ini sudah pasti akan memengaruhi pencapaian target yang ada dalam Sustainable Development Goals (SDGs), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), maupun Strategi Nasional Pengurangan Perkawinan Usia Anak,” ungkap Erni.

Namun demikian, Erni menyebutkan pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual pada 12 April 2022 lalu menjadi sebuah langkah progresif dalam mencegah meningkatnya angka perkawinan anak di Indonesia. “Dalam Pasal 10 telah diatur ketentuan perihal jerat pidana bagi pelaku pemaksaan perkawinan yang dapat diancam pidana penjara paling lama 9 tahun dan/atau pidana denda paling banyak 200 juta. Dalam Pasal 11 dijelaskan bahwa selain pidana penjara dan denda, pelaku dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak asuh anak,” jelas Erni.

Selain itu, KemenPPPA juga telah melakukan berbagai upaya pencegahan dan penanganan perkawinan anak, salah satunya penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Dispensasi Kawin. “Saat ini RPP tersebut sedang berproses di Sekretariat Negara. RPP ini akan mengatur bagaimana Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat dapat melakukan koordinasi, sinkronisasi, dan sinergi bersama serta diikuti upaya peningkatan kapasitas Hakim Pengadilan Agama,” ujar Erni.

Sebelumnya, KemenPPPA bersama Majelis Ulama Indonesia telah melakukan Deklarasi Pendewasaan Usia Kawin dengan 8 Menteri dan komitmen 6 lintas agama sebagai upaya pencegahan perkawinan anak. “Penurunan perkawinan anak merupakan upaya lintas sektor, baik dari Pemerintah, lembaga masyarakat, dunia usaha, media, perguruan tinggi, tokoh agama, dan tokoh masyarakat. Perkawinan anak merupakan kejahatan kepada anak karena telah melanggar dan mencederai hak-hak mereka. Mari kita saling bersatu padu, terus gencarkan cegah perkawinan anak, mulai dari keluarga  teman, masyarakat  ditempat kerja, demi kepentingan terbaik anak,” tutup Erni.

6.547 Kasus Kekerasan Seksual Anak

Melansir data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), pada 2021 terdapat 10.247 kasus kekerasan terhadap perempuan yang 15,2 persennya adalah kekerasan seksual. Pada 14.517 kasus kekerasan terhadap anak di 2021, sebanyak 45,1 persen atau sekitar 6.547 kasus adalah kekerasan seksual terhadap anak.

UU TPKS terdiri dari 8 Bab dan 93 pasal. Menurut Menteri PPPA Bintang Puspayoga menunjukkan keberpihakan negara terhadap para korban kekerasan seksual. Regulasi itu juga sejalan dengan komitmen Indonesia meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women/CEDAW).

"Ini upaya negara mencegah segala bentuk kekerasan seksual, menangani, melindungi, dan memulihkan korban, melaksanakan penegakan hukum, merehabilitasi pelaku, mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual, dan menjamin tidak berulangnya kejadian kekerasan seksual," ujar Menteri PPPA dalam keterangan persnya. 

Undang-undang ini juga menjadi payung hukum atau legal standing bagi aparat penegak hukum untuk menangani setiap jenis kekerasan seksual. Menteri Bintang juga berharap UU TPKS ini memberi manfaat luas ketika dimplementasikan. Terdapat beberapa hal penting yang dicantumkan dalam UU TPKS dan belum terdapat pada produk hukum sejenis.

Misalnya pengkategorian kekerasan seksual sebagai tindak pidana kekerasan seksual. Kemudian adanya pengaturan hukum acara yang komprehensif, mulai tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Tentunya dengan tetap memperhatikan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, kehormatan, dan tanpa intimidasi.

Selanjutnya adalah adanya pengakuan dan jaminan hak kepada korban atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan, sejak terjadinya tindak pidana kekerasan seksual. Ini merupakan kewajiban negara dan dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan korban.

Perkara tindak pidana kekerasan seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku anak. "Undang-undang ini memuat tentang victim trust fund atau dana bantuan korban sebagai langkah yang maju bagaimana kita hadir dalam memberikan perlindungan bagi warga negara Indonesia," ujar Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU TPKS, Willy Aditya.

UU TPKS mencantumkan sembilan jenis kekerasan seksual yaitu pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi. Kemudian, pemaksaan perkawinan, kekerasan seksual berbasis elektronik, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, dan perbudakan seksual.

Kesembilan jenis tindak pidana kekerasan seksual itu tercantum di dalam Pasal 4 ayat 1 UU TPKS. Bukan itu saja, UU TPKS pun memberikan hukuman pidana berupa kurungan dan denda material kepada para pelaku kesembilan jenis pelanggaran kekerasan seksual tadi. Seperti tercantum dalam Pasal 5-14 UU TPKS, terdapat sanksi pidana mulai kurungan sembilan bulan hingga 15 tahun serta denda dari Rp10 juta hingga Rp1 miliar untuk tiap pelanggaran jenis-jenis kekerasan seksual. 

Dibandingkan dengan usulan awal, ada dua poin dalam jenis-jenis kekerasan seksual yang dihapus, yaitu pemerkosaan dan aborsi. 

Lipsus Selanjutnya
Kemenkes-Google Cloud Platform Indonesia Kerja Sama Kembangkan Layanan Kesehatan
Lipsus Sebelumnya
Arab Saudi Tetapkan Usia Maksimal Jamaah Haji 65 Tahun

Liputan Khusus Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar