Cari

Soeharto dan Bayang Panjang Orde Baru: Gelar yang Memicu Amarah Reformasi



Schoolmedia News Jakarta == Dua puluh tujuh tahun setelah rakyat meneriakkan “Turunkan Soeharto!”, sejarah seolah berputar balik. Negara yang dulu memuliakan reformasi kini sedang menegosiasikan ingatannya sendiri. Dan di tengah ruang ingatan yang retak itu, nama Soeharto kembali mengambang—bukan sebagai pelaku, tapi sebagai calon pahlawan.

Jika itu terjadi, barangkali bukan hanya sejarah yang diputarbalikkan, tapi juga moral bangsa yang ikut dijual. Satu nama dalam daftar itu membuat banyak orang terdiam, lalu mendidih yaitu Jenderal Besar Soeharto, Presiden 32 Tahun berkuasa.

Dari 40 calon penerima gelar Pahlawan Nasional yang diajukan Kementerian Sosial ke Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, terselip nama yang selama tiga dekade menjadi bayangan paling panjang dalam sejarah negeri ini: Haji Muhammad Soeharto, presiden kedua Republik Indonesia.

Kabar itu tak datang tiba-tiba. Sejak awal 2025, sejumlah tokoh yang dekat dengan lingkaran keluarga Cendana mulai meniupkan narasi “rekonsiliasi sejarah.”

Soeharto disebut sebagai “bapak pembangunan” yang berjasa membangun infrastruktur, menjaga stabilitas, dan membawa Indonesia keluar dari kemiskinan. Tapi bagi banyak warga negeri ini, narasi itu terdengar seperti usaha memoles luka menjadi monumen.

Gerakan Masyarakat Sipil Protes 

Begitu nama Soeharto muncul, Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (GEMAS) langsung bereaksi keras. Koalisi yang berisi ICW, Perludem, Pattiro, dan Indonesia Budget Center itu menolak mentah-mentah.
“Pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto adalah pengingkaran terhadap sejarah dan pelecehan terhadap korban Orde Baru,” kata mereka dalam pernyataan yang dirilis Kamis (6/11/2025).

GEMAS menyebut langkah pemerintah sebagai kemunduran besar bagi reformasi—sebuah upaya memutihkan dosa masa lalu di bawah selimut romantisme kekuasaan.
“Pemerintah seolah lupa bahwa nama Soeharto masih tercatat dalam TAP MPR XI/MPR/1998 sebagai subjek yang harus dimintai pertanggungjawaban atas praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN),” tulis mereka.

TAP itu tak pernah dicabut, bahkan diperkuat dalam TAP I/MPR/2003, yang menegaskan keberlakuannya sampai ada undang-undang baru. “Jadi, bagaimana mungkin seseorang yang secara moral dan hukum masih dianggap bertanggung jawab atas KKN, tiba-tiba diusulkan jadi pahlawan?” tanya seorang aktivis GEMAS dengan nada getir.

Keluarga Besar Manfaatkan Kekuasaan Soeharto


Jejak hitam itu panjang dan terekam rapi. Pada September 1998, Kejaksaan Agung mengungkap indikasi penyimpangan dana di tujuh yayasan yang dipimpin Soeharto: Supersemar, Dharmais, Dakab, Gotong Royong, Amal Bhakti Muslim Pancasila, Trikora, dan Dana Mandiri. Nilai totalnya mencapai Rp 5,7 triliun.

Tiga bulan kemudian, Jaksa Agung Andi Muhammad Ghalib melaporkan hasil penyelidikan: dugaan penyalahgunaan dana mencapai Rp 1,4 triliun, plus rekening atas nama Soeharto di 72 bank dalam negeri dengan deposito sekitar Rp 24 miliar. Ada pula tanah 400 ribu hektar atas nama keluarga Cendana—lebih luas dari Singapura.

Pada 2000, Soeharto sempat ditetapkan sebagai tersangka. Namun sidang tak pernah terjadi. Tim dokter menyatakan Soeharto “tak mampu menghadiri persidangan.” Dengan cara klasik itu, hukum pun kehilangan giginya.

Belasan tahun kemudian, Mahkamah Agung lewat putusan No. 140 PK/Pdt/2015 menegaskan Yayasan Supersemar bersalah dan harus mengembalikan US$ 315 juta dan Rp 139 miliar (sekitar Rp 4,4 triliun) kepada negara.

Namun publik tahu, uang itu hanyalah tetes dari lautan kekayaan yang mengalir selama 32 tahun rezim Orde Baru.

Soeharto bukan hanya simbol kekuasaan absolut di dalam negeri. Di mata dunia, ia menjadi ikon korupsi global.

Transparency International menempatkan Soeharto di peringkat pertama daftar pemimpin paling korup di dunia, dengan dugaan penggelapan dana US$ 15–35 miliar.

Bank Dunia dan UNODC dalam laporan Stolen Asset Recovery (StAR) 2005 menulis: “Soeharto membangun jaringan kleptokrasi yang sistematis, di mana kekuasaan negara digunakan untuk memperkaya keluarga dan kroni politik.”

Kleptokrasi itu bahkan masih terasa hingga kini. Struktur bisnis Cendana dan para kroninya, meski berganti nama, tetap hidup di berbagai sektor strategis. Bagi masyarakat sipil, inilah bukti bahwa hantu Orde Baru belum mati—hanya berganti wajah dan baju.

Bagi aktivis reformasi, usulan gelar pahlawan ini bukan semata perkara sejarah, tapi politik ingatan.

Presiden Prabowo Subianto, yang tak lain adalah mantan menantu Soeharto, kini memimpin pemerintahan yang mencoba memadukan narasi ketertiban Orde Baru dengan wajah demokrasi baru.

Di bawah Prabowo, jargon “nasionalisme dan stabilitas” kembali menjadi mantra. Maka tak heran jika pengusulan nama Soeharto dibaca sebagai upaya simbolik untuk menormalisasi kekuasaan lama.

“Jika Soeharto jadi pahlawan, maka komitmen negara terhadap antikorupsi hanyalah slogan,” tulis GEMAS.

Bagaimana mungkin, tanya mereka, presiden paling korup di dunia diberi gelar pahlawan oleh negara yang masih berjuang melawan korupsi?

Selain skandal keuangan, nama Soeharto juga lekat dengan pelanggaran HAM berat: pembantaian pasca-1965, operasi militer di Timor Timur, penembakan misterius, hingga kekerasan terhadap aktivis prodemokrasi menjelang reformasi 1998.

Di balik tembok stabilitas yang diagung-agungkan, ribuan nyawa melayang, ribuan keluarga kehilangan anggota, dan puluhan jurnalis, seniman, serta mahasiswa dipenjarakan tanpa pengadilan.

27 Tahun Kemudian Negara Tutup Mata 

Kini, dua puluh tujuh tahun kemudian, negara seolah menutup mata. Gelar pahlawan bagi Soeharto, kata seorang aktivis HAM, bukan hanya melukai korban, tapi juga “menjadikan negara ini pelupa yang sengaja.”

“Negara yang gagal mengadili, kini malah memberi penghargaan,” ujarnya sarkastik.

Pemberian gelar pahlawan seharusnya berdasar pada kejujuran sejarah dan kontribusi moral terhadap kemanusiaan. Tapi dalam politik hari ini, sejarah mudah dinegosiasikan.

Bagi sebagian elite, gelar itu bukan lagi penghargaan, melainkan alat rekonsiliasi semu—cara elegan untuk menghapus dosa masa lalu dan mengamankan legitimasi politik.

Sementara rakyat, terutama generasi yang lahir setelah reformasi, disuguhi narasi nostalgia: harga stabil, beras murah, pembangunan lancar.

Tak banyak yang tahu bahwa “stabilitas” itu dibangun di atas ketakutan dan represi.
Seperti kata seorang aktivis muda ICW, “Mereka ingin menjadikan Soeharto pahlawan, padahal bangsa ini belum selesai mengubur korban Orde Baru.”

GEMAS menutup pernyataannya dengan nada getir:
“Pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto bukan hanya menampar wajah keadilan, tapi menunjukkan bahwa negara gagal belajar dari masa lalunya.”

Dalam pandangan mereka, langkah ini adalah bentuk penyangkalan terhadap nilai reformasi 1998, sekaligus pengkhianatan terhadap cita-cita demokrasi.

Ironisnya, negara yang dulu lahir dari semangat melawan tirani, kini malah nyaris memberi penghargaan pada simbol tirani itu sendiri.

Di tengah upaya pemerintah memerangi korupsi, langkah ini membuat publik bertanya: apakah bangsa ini sungguh-sungguh ingin jujur pada sejarahnya, atau hanya ingin nyaman dalam lupa?

Penulis Eko Harsono

Berita Selanjutnya
Ombudsman RI Kunjungi Ruang Kendali Tes Kemampuan Akademik
Berita Sebelumnya
Kasus Keracunan MBG Kembali Terjadi, 20 Murid SDN Satu Wetan Cirebon Pingsan

Berita Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar