Schoolmedia News Jakarta --- Gelombang demonstrasi di berbagai kota pada 28 - 30 Agustus 2025 meninggalkan catatan kelam. Bentrokan antara massa dengan aparat keamanan tidak hanya menghasilkan ratusan luka, tetapi juga merenggut tujuh nyawa. Dari Jakarta, Makassar, Yogyakarta, hingga Solo, kisah para korban ini menjadi potret rapuhnya perlindungan warga sipil dalam gelombang protes yang berakhir tragis.
Tujuh nyawa melayang dalam hitungan hari. Mereka bukan tokoh besar, bukan pula orang yang hidup dari panggung politik. Mereka hanyalah anak-anak bangsa yang sedang mencari udara keadilan di jalanan. Dari 25 hingga 29 Agustus, kota-kota yang semula penuh riuh aktivitas berubah menjadi panggung duka. Suara teriakan bercampur gas air mata, langkah kaki tergantikan derap panik, dan di tengah kerumunan itu, darah mengalir tanpa pernah diminta.
Di antara mereka ada seorang mahasiswa yang baru saja menulis skripsi tentang perubahan sosial, seorang pedagang kecil yang ikut berteriak menuntut harga lebih adil, seorang remaja yang seharusnya sibuk memikirkan ujian akhir, hingga seorang ayah muda yang sekadar ingin memastikan anaknya kelak tidak tumbuh dalam ketidakpastian. Mereka semua pulang bukan dengan senyum kemenangan, melainkan dengan wajah kaku yang diselimuti kain putih.
Tujuh jasad itu kini menjadi saksi bisu. Di ruang-ruang duka, tangis keluarga pecah; ibu-ibu memeluk foto terakhir anaknya, istri menatap kosong pada pintu yang tak lagi akan diketuk, sahabat-sahabat terdiam tak percaya bahwa suara tawa yang kemarin begitu dekat kini hanya tersisa dalam ingatan.
Mereka adalah korban yang tak pernah memilih takdirnya. Tidak ada yang tahu, langkah kecil menuju lapangan aksi akan berujung pada liang lahat. Tetapi sejarah mencatat, darah mereka menetes di jalan yang bernama perjuangan. Dan bangsa ini kalau masih punya hati tak boleh membiarkan tujuh kematian itu tenggelam dalam deru wacana.
Karena setiap nyawa adalah cerita. Dan tujuh cerita itu kini terputus di tengah jalan, menunggu kita semua bertanya: berapa lagi yang harus tumbang untuk sebuah perubahan?
Affan Kurniawan, 21 tahun, tewas di Jakarta setelah tubuhnya dilindas mobil taktis Brimob di kawasan Rusun Bendungan Hilir II, Kamis malam, 28 Agustus.
HP-nya jatuh, dia mau ambil. Tapi malah terserempet. Mobil barracuda itu mundur sebentar lalu melaju kencang. Affan enggak sempat menghindar, tutur Erna, rekannya dari komunitas ojek online URC Bergerak.
Di rumah duka di Menteng, ibunya hanya bisa memeluk foto Affan. Dia anak baik. Baru saja mulai kerja serabutan buat bantu keluarga. Kenapa harus begini cara kepergiannya? isak sang ibu.
Kerusuhan di Makassar pada Jumat malam, 28 Agustus, menelan empat korban jiwa. Tiga di antaranya terjebak dalam kebakaran di kantor DPRD Kota Makassar.
-
Syaiful (43), Kepala Seksi Kesra Kecamatan Ujung Tanah, ditemukan tak bernyawa setelah mencoba menyelamatkan diri dari kobaran api.
-
Muhammad Akbar Basri (26), fotografer humas DPRD, ditemukan hangus di lantai tiga. Rekannya menyebut Abay semula hanya bertugas mendokumentasikan rapat. Dia enggak pernah ikut aksi. Kami masih enggak percaya kehilangan dia dengan cara seperti ini, ujar Farid, sahabatnya.
-
Sarinawati (25), staf DPRD, juga ditemukan tak bernyawa di lokasi yang sama. Dia selalu ceria di kantor. Baru dua tahun kerja, tapi sudah dianggap keluarga. Kami semua hancur kata Ketua DPRD Makassar, Rudianto Lallo.
Korban lain, Rusdamdiansyah (21), tewas setelah dikeroyok massa di Jalan Urip Sumoharjo. Massa menuduhnya intel aparat. Rusdam bukan mahasiswa, dia hanya kebetulan lewat ujar pamannya, Arsyad. Nyawa keponakan saya melayang sia-sia.
Di Yogyakarta, Rheza Sendy Pratama (20), mahasiswa semester V Ilmu Komunikasi Universitas Amikom, meregang nyawa dalam kerusuhan di depan Mako Polda DIY pada Minggu dini hari, 31 Agustus.
Ayahnya, Yoyon Surono, masih tak percaya saat memandikan jenazah anaknya. Lehernya seperti patah, pelipisnya bocor, dada penuh jejak sepatu PDL. Badannya penuh luka. Anak saya bukan penjahat, kenapa diperlakukan begitu katanya dengan suara parau.
Rheza semula hanya berpamitan untuk ngopi bersama teman. Namun takdir berkata lain. Jenazahnya diantar ribuan mahasiswa menuju pemakaman di Sendangadi, Sleman. Wakil Rektor Amikom, Ahmad Fauzo, menegaskan pihak kampus tidak pernah menurunkan mahasiswa ke aksi. Kami kehilangan anak bangsa yang cerdas. Tragedi ini tidak boleh berulang katanya.
Sumari, 55 tahun, tukang becak asal Pacitan yang sehari-hari mangkal di Pasar Gede, Solo, menjadi korban lain. Jumat malam, 29 Agustus, tubuhnya ambruk setelah bentrokan massa dan polisi memanas di Bundaran Gladak.
Dia muntah sambil pegang dada, lalu tak sadarkan diri kata Aipda Rudy Ardhiawan, polisi yang ikut menolong. Sumari sempat dilarikan ke RSUD dr Moewardi, tapi nyawanya tak tertolong.
Keluarga menyebut Sumari memiliki riwayat penyakit jantung dan asma. Namun warga menduga paparan gas air mata yang menyelimuti kawasan itu memperparah kondisinya. Jenazahnya dipulangkan ke Pacitan. Warga sekitar mengiringi dengan doa, sembari menyalakan lilin di jalanan Solo yang masih beraroma sisa gas air mata.
Gelombang duka mengalir dari berbagai kalangan. Direktur YLBHI, Asfinawati, menyebut tragedi ini sebagai bukti kegagalan negara melindungi warganya. Tujuh nyawa melayang, ratusan luka, dan trauma yang tak akan sembuh. Harus ada pertanggungjawaban.
Tokoh Muhammadiyah, Busyro Muqoddas, mengingatkan agar aparat menghentikan pendekatan represif. Demonstrasi adalah hak warga negara. Jika aparat menjawab dengan kekerasan, itu jalan menuju otoritarianisme.
Sementara itu, Komnas HAM mengumumkan akan membentuk tim investigasi independen. Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah, menyatakan, Kami tidak bisa diam. Setiap nyawa yang hilang harus diusut, siapa pun pelakunya.
Dari Jakarta, Makassar, Yogyakarta, hingga Solo, jejak darah dan air mata masih terasa. Bagi keluarga korban, luka kehilangan takkan sembuh oleh janji investigasi semata.
Di rumah sederhana di Sleman, Yoyon masih menatap baju terakhir Rheza yang berlumuran darah. Di Pacitan, anak-anak Sumari kini kehilangan ayah pencari nafkah. Di Makassar, keluarga Abay dan Sarinawati menatap kursi kosong yang tak akan pernah terisi lagi.
Tujuh nama itu kini jadi simbol: bahwa demokrasi bisa kehilangan maknanya ketika suara rakyat dijawab dengan kekerasan.
Tim Schoolmedia
Tinggalkan Komentar