
Kisah Guru 3T di Papua Barat dan Papua Barat Daya Menjemput Pendidikan Interaktif
Schoolmedia News Manokwari â Sebanyak 60 kepala sekolah dari wilayah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (3T) di Provinsi Papua Barat dan Papua Barat Daya menyampaikan apresiasi tinggi atas penyaluran bantuan Interactive Flat Panel (IFP) atau smartboard alias Papan Interaktif Digital (PID) dari Kementerian Pendidikan.
Bantuan perangkat teknologi canggih ini disambut sebagai "jembatan digital" untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, memastikan siswa di pelosok Papua mendapatkan akses ke metode pendidikan interaktif yang setara dengan di perkotaan.
Kepada Schoolmedia sejumlah perwakilan kepala sekolah menegaskan bahwa IFP ini merupakan investasi penting untuk membentuk generasi penerus yang melek teknologi. Sebagian besar di Kota Sorong, Kota Manokwari, Kabupaten Fak Fak, Kabupaten Bintuni dan Kabupaten Kainama telah menerima dan terpasang di sejumlah satuan PAUD.
âKami sangat bersyukur mendapat bantuan ini. Anak-anak dan orangtua tentunya heboh dan kaget karena sekolah kami di pedalaman Papua menerima alat canggih. Sekolah kami sudah dipasang sejak tiga minggu lalu, tapi kami masih belajar menggunakan. Kami belajar melalui YouTube PAUDPEDIA karena ada banyak serial Bimtek bagaimana menggunakan IFP. Teknisi yang datang juga memberikan cara operasional alatnya,â ujar Tina Christiyanti Tuapattinaya dari TK Yuliana V Momiwaren Kabupaten Manokwari Selatan.
Ucapan syukur dan bangga sekolahnya menerima Papan Interaktif Digital juga disampaikan Kepala Sekolah Tk Santo Bernardus Kabupaten Sorong, Treesje Kilis. âSekolah kami lumayan banyak siswanya ada 80 anak dengan 5 Rombel. Alatnya sudah datang minggu lalu, kami sangat kaget dan terharu. Rencana kami IFP akan jadi sentra pembelajaran digitalisasi jadi murid dari tiap rombel bergantian atau moving class menikmati belajar dengan IFP. Saya harap tahun depan bisa ada tambahan IFP,â ujarnya.
Tiga Tantangan Fundamental di 3T
Dalam kegiatan Bimbingan Teknis Digitalisasi Pembelajaran oleh UPT BPMP Provinsi Papua Barat yang berlangsung 3 hingga 5 November 2025 para kepala sekolah menyampaikannimplementasi IFP di lapangan dihadapkan pada tiga tantangan fundamental.
Tantangan utama adalah keterbatasan infrastruktur dasar, terutama pasokan listrik yang tidak stabil atau bahkan nihil di banyak sekolah, serta ketiadaan jaringan internet yang memadai.

âKami di Kabupaten Teluk Bintuni dan Kabupaten Teluk Wondama Papua Barat hampir sebagian besar daerah 3T terkendala pasokan listrik. Listrik sudah ada hanya saja baru menyala karena menggunakan diesel sore hingga malam hari saja. Siang nyaris tidak ada listrik. Kantor pemerintahan, rumah sakit atau Puskesmas memiliki diesel sendiri jadi listrik siang hari tetap menyala. Sedangkan sebagian besar TK ditempat kami belum punya diesel sehingga IFP belum dapat digunakan maksimal,â ujar Kepala TK Negeri Pertiwi Babo Kabupaten Teluk Bintuni, Agus Setianingsih.
Kondisi geografis yang sulit dan terpencil turut memperparah kendala konektivitas, menghambat optimalisasi perangkat Papan Interaktif Digital yang sangat bergantung pada daya listrik dan konten digital online.
âSelain kendala infrastruktur, tantangan krusial lainnya adalah kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM), khususnya literasi digital para guru. Banyak guru di daerah 3T yang belum memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai untuk mengoperasikan serta mengintegrasikan IFP dalam proses belajar-mengajar secara maksimal. Kekhawatiran juga muncul terkait proses pemeliharaan dan pengamanan perangkat bernilai tinggi ini di tengah lokasi sekolah yang rentan dan sulit dijangkau oleh teknisi.
Selama ini, proses belajar mengajar di banyak sekolah 3T adalah pertarungan harian melawan keterbatasan. Guru mengajar dengan modal seadanya: papan tulis kapur yang kadang retak, buku paket yang sudah lusuh, dan semangat yang harus terus menyala di tengah ketiadaan. Konsep-konsep abstrak seperti rotasi bumi, sistem peredaran darah, atau sejarah peradaban dunia, seringkali sulit divisualisasikan, membuat siswa cepat jenuh dan kehilangan minat belajar.
âIFP hadir sebagai solusi revolusioner. Perangkat ini memungkinkan guru menampilkan materi pelajaran dalam bentuk yang kaya, mulai dari video animasi 3D, simulasi laboratorium virtual, hingga aplikasi gim edukasi yang interaktif. Bagi siswa-siswa di Kampung Wasti, Pegunungan Arfak, misalnya, IFP bukan sekadar alat ajar; ia adalah jendela ajaib yang membawa mereka melintasi batas geografis.
â"Dulu, saat kami jelaskan tentang lautan, anak-anak hanya membayangkan kali atau danau. Sekarang, dengan IFP, mereka bisa melihat video karang bawah laut, bahkan berinteraksi seolah menyentuh ikan di layar," tutur Ibu Martha, seorang Kepala Sekolah dari Sorong Selatan, matanya berbinar.
"Peningkatan antusiasme sangat kentara. Anak-anak yang tadinya pendiam, kini berebut maju ke depan papan untuk mencoba fitur sentuh. IFP telah memecahkan tembok kebosanan."
âDampak psikologisnya pun luar biasa. Kehadiran teknologi sekelas IFP membuat anak-anak 3T merasa dihargai dan setara. Sekolah mereka, yang selama ini dicap terbelakang, kini memiliki perangkat yang sama canggihnya dengan sekolah-sekolah di Jakarta. Rasa minder berganti dengan kebanggaan. Ini adalah pengakuan nyata bahwa anak-anak Papua berhak mendapatkan yang terbaik.
Listrik Kerap Padam dan Sinyal Barang Mewah
âNamun, euforia itu bercampur dengan kecemasan yang mendalam, sebuah realitas pahit yang hanya dipahami oleh mereka yang berjuang di garda terdepan pendidikan. Tantangan implementasi IFP di daerah 3T Papua Barat dan Papua Barat Daya adalah cerita tentang perjuangan melawan ketidakpastian infrastruktur.
âTantangan pertama dan paling mendasar adalah Listrik. â"Kami menerima IFP yang canggih, tapi bagaimana kami menyalakannya jika listrik kami hanya ada empat jam sehari, itu pun jika genset berfungsi dan ada solar?" keluh Bapak Lukas, Kepala Sekolah dari Kabupaten Maybrat.
âBanyak sekolah di pedalaman Papua tidak teraliri listrik PLN. Mereka bergantung pada genset yang mahal operasionalnya atau panel surya sederhana yang tenaganya tidak stabil. IFP membutuhkan daya yang konsisten, dan fluktuasi tegangan sangat berisiko merusak perangkat. Alhasil, IFP yang seharusnya menjadi motor penggerak inovasi, terpaksa tersimpan rapi di lemari, menunggu âhari baikâ saat daya cukup kuat untuk menyalakannya tanpa risiko.
âTantangan kedua adalah Konektivitas Internet. âMeskipun IFP dapat digunakan untuk konten offline, potensi penuhnya baru terbuka saat terhubung ke internetâmengakses platform belajar, mengunduh materi terbaru, atau melakukan update perangkat. Ironisnya, di banyak lokasi, jangankan jaringan 4G, sinyal telepon seluler saja masih harus dicari di atas bukit tertinggi. âBantuan ini terasa seperti mobil mewah tanpa bahan bakar; alatnya ada, tapi bahan bakunya (sinyal internet) tidak tersedia,â ujar Ibu Syamsiar.
âPemerintah memang menjanjikan solusi seperti panel surya dan penyimpanan konten offline. Namun, realisasi dan keberlanjutan pasokan energi dan konten ini di lapangan masih menjadi tanda tanya besar bagi para kepala sekolah.
âTantangan ketiga terletak pada Sumber Daya Manusia (SDM). IFP membutuhkan guru dengan literasi digital yang mumpuni, sementara sebagian besar guru di 3T adalah sosok pahlawan yang mengabdi puluhan tahun dengan metode konvensional.
âIbu Agustina, guru senior di Raja Ampat, mengakui ada perasaan "ketakutan dan minder" saat pertama kali melihat perangkat IFP.
â"Saya sudah terbiasa dengan kapur dan papan tulis. Layar sentuh ini terlalu pintar bagi saya," katanya sambil tertawa getir. "Kami takut salah sentuh, takut merusak programnya, atau bahkan takut terlihat bodoh di depan murid-murid yang lebih cepat mengerti teknologi."
âMaka, bantuan perangkat harus diimbangi dengan pelatihan guru yang berkelanjutan, intensif, dan kontekstual. Pelatihan satu atau dua hari tidak cukup. Mereka memerlukan pendampingan yang fokus pada integrasi kurikulum dengan IFP, menciptakan modul offline yang relevan dengan kearifan lokal, dan membangun rasa percaya diri guru.
Tanpa ini, IFP akan berakhir sebagai 'papan tulis mahal' tanpa fungsi interaktif maksimal.
âJaminan Keberlanjutan dan Keamanan
âSelain masalah operasional dan SDM, ada kekhawatiran praktis terkait pemeliharaan dan keamanan. Daerah 3T memiliki jalur transportasi yang sulit dan mahal.
Jika IFP rusak, mengirim teknisi bisa memakan waktu berminggu-minggu dan biaya yang sangat besar. Ditambah lagi, sekolah-sekolah di pelosok seringkali minim fasilitas keamanan yang memadai.
âPara kepala sekolah berharap adanya mekanisme garansi dan support system lokal yang mudah diakses. Mereka memohon agar pemerintah menciptakan âtechnician heroâ dari putra-putri daerah yang dilatih khusus untuk merawat dan memperbaiki perangkat digital ini, sehingga tidak perlu menunggu teknisi dari Jawa.
âBantuan IFP ke Papua Barat dan Papua Barat Daya adalah langkah berani yang layak diapresiasi. Ini adalah komitmen pemerintah untuk menghadirkan keadilan pendidikan. Namun, IFP hanyalah pintu gerbang. Agar pintu itu tetap terbuka dan anak-anak bisa masuk ke dunia pendidikan digital, pemerintah harus memastikan bahwa tantangan abadi berupa listrik, sinyal, dan peningkatan kompetensi guru diatasi dengan solusi yang sama inovatif dan berkelanjutannya.
âSebab, masa depan pendidikan di Tanah Papua tidak hanya bergantung pada seberapa canggih alat yang datang, tetapi seberapa kuat komitmen kita untuk memastikan alat itu benar-benar berfungsi dan bermanfaat.
Peliput Eko Harsono
                
                                    
                                        
                                        
                                        
                                        
Tinggalkan Komentar